Wednesday, August 26, 2015

ANALISIS KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO BAJA KARBON RENDAH TERHADAP VARIASI WAKTU PENAHANAN PADA METODE CARBONITRIDING

ANALISIS KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO BAJA KARBON RENDAH TERHADAP VARIASI WAKTU PENAHANAN PADA METODE CARBONITRIDING.


Oleh:
Sandy Yudha 1), Poppy Puspitasari 2), dan Putut Murdanto 3)
1)Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang
2,3)Dosen Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang
Email: Sandybrazox@yahoo.co.id


Abstrak: Carbonitriding  merupakan sauatu proses pengerasan permukaan baja dengan cara pemanasan baja diatas temperatur kritis menggunakan penyemprot gas. Dalam penelitian ini proses carbonitriding menggunakan media pack adalah inovasi baru untuk metode pengerasan permukaan, dimana proses yang lazim dilakukan selama ini menggunakan gas carbonitriding dan liquid. Temuan dari hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai sarana komunikasi ilmiah kepada para perencana pemesinan dalam proses carbonitriding menggunakan media pack. Spesimen uji yang digunakan pada penelitian ini adalah baja karbon rendah. Baja karbon rendah yang dipilih adalah baja St.41 dengan unsur -  unsur 0,1517 % karbon, 0,1994 % silikon, 0,5631 % mangan, 0,0224 % pospor dan 0,047 % sulfur. Baja untuk spesimen uji ini diperoleh dari agen resmi penjual baja PT. Benteng Anugerah Sejahtera, Surabaya. Pelaksanaan penelitian dilakukan di laboratorium Teknik Mesin Universitas Negeri Malang, di laboratorium pengujian bahan logam VEDC Malang, di laboratorium Teknik Mesin Politeknik Negeri Malang dan di laboratorium pengujian bahan Teknik Mesin Universitas Brawijaya. Analisis data yang digunakan adalah analisis nilai data tabel yang diperoleh. Temperatur carbonitriding yang digunakan pada suhu 700 0C, 750 0C dan 800 0C dengan variasi waktu 60 menit dan 120 menit.
Hasil peneitian menunjukkan bahwa perbedaan temperatur carbonitriding berpengaruh terhadap sifat mekanik baja St 41. Pengaruh temperatur carbonitriding dengan waktu penahanan menunjukkan adanya perbedaan pada setiap variasi suhu, untuk tingkat kekerasan baja dengan variasi waktu 60 menit naik dan turun dengan variasi 120 menit lebih menurun dengan setiap perubahan suhu lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan pada rentang percobaan proses carbonitriding yaitu antara 700 0C sampai 750 0C dengan variasi waktu 60 menit kekerasan baja naik dari 85,7 HRB menjadi 95,7 HRB dan pada 800 0C nilai kekerasan turun menjadi 93,1 HRB dan variasi waktu 120 menit mengalami penurunan nilai kekerasan dari 94,1 HRB menjadi 92,7 HRB. Hasil penelitian ini terjadi karena, terlalu lama penahanan waktu pada temperatur tertentu dan fasa austenite lebih tinggi dapat mengurangi kekerasan baja. Berdasarkan keadaan ini, disarankan bagi peneliti selanjutnya perlu diadakan penelitian kembali untuk proses carbonitriding menggunakan variasi kandungan karbon dengan nitrogen dan variasi temperatur lebih tinggi > 900 0C.

Kata kunci: Carbonitriding, Kekerasan, Struktur Mikro, Baja Karbon Rendah






KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka dapat di­sim­pulkan sebagai berikut:
1.      Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, terdapat perbedaan nilai kekerasan permukaan baja karbon rendah yang dipanaskan pada temperatur 700 0C dalam penahanan waktu selama 60 menit sebesar 85,7 HRB dan penahanan waktu 120 menit sebesar 94,1 HRB.
2.      Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, terdapat perbedaan nilai kekerasan permukaan baja karbon rendah yang dipanaskan pada temperatur 750 0C dalam penahanan waktu selama 60 menit sebesar 93,1 HRB dan penahanan waktu 120 menit sebesar 92,7 HRB.
3.      Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, terdapat perbedaan nilai kekerasan permukaan baja karbon rendah yang dipanaskan pada temperatur 800 0C dalam penahanan waktu selama 60 menit sebesar 93,1 HRB dan penahanan waktu 120 menit sebesar 92,7 HRB.
4.      Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, terdapat perbedaan struktur mikro baja karbon rendah yang dipanaskan pada temperatur 700 0C dalam penahanan waktu selama 60 menit terlihat austenite sisa yang terperangkap bersamaan dengan karbon dan waktu 120 menit terlihat lapisan permukaan yang lebih tebal austenite pada karbon mulai terdifusi, dengan demikian kekerasan lebih meningkat.
5.      Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, terdapat perbedaan struktur mikro baja karbon rendah yang dipanaskan pada temperatur 750 0C dalam penahanan waktu selama 60 menit terlihat sisa karbon terperangkap dalam struktur kisi dan waktu 120 menit terlihat nitrogen kembali pada pembentukan fasa austenite stabil, dengan demikian kekerasan menurun stabil.
6.      Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, terdapat perbedaan struktur mikro baja karbon rendah yang dipanaskan pada temperatur 750 0C dalam penahanan waktu selama 60 menit terlihat pembentukan nitrogen austenite  pada fasa stabil dan waktu 120 menit terlihat lapisan permukaan mulai mengurai sifat austenite pada nitrogen yang kembali transformasi dengan sifat ammonia.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat di­beri­kan saran sebagai berikut:
1.      Bagi Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Malang
Dengan adanya penelitian perlakuan panas proses carbonitriding yang ditinjau dari tingkat kekerasan dan struktur mikro, diharapkan dapat disajikan sebagai referensi dalam jurusan pendidikan teknik mesin maupun jurusan mesin.
2.      Bagi Peneliti
a.       Disarankan agar melakukan penelitian menggunakan baja karbon rendah tipe lain yang memiliki kelunakan pada baja dan perbedaan unsur paduan pada proses carbonitriding.
b.      Perlu diadakan penelitian kembali untuk proses carbonitriding dengan menggunakan variasi kandungan karbon dengan nitrogen dan variasi temperatur lebih tinggi > 900 0C sesuai dengan temperatur proses carbonitriding. Bertujuan untuk mengetahui tingkat kekerasan dan kedalaman difusi permukaan baja.

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Avner, S. H. 1964. Introduction to Pyisical Metallurgy. New York: McGraw Hill Book Company.

Beumer, B. J. M. 1985. Ilmu Bahan Logam Jilid I . Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Beumer, B. J. M. 1985. Ilmu Bahan Logam Jilid II . Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Dieter, G. 1990. Metalurgi Mekanik. Jakarta: Airlangga.

Djaprie, S. 1989. Ilmu Logam dan Bahan. Jakarta: Airlangga

Djaprie, S. 1989. Teknologi Mekanik. Jakarta: Airlangga

J. Slycke and T. Ericsson. 1981. A Study of Reactions Occurring During the Carbonitriding Process. Journal of Heat Treating.

Konvacs, W.L. 1990. Commercial and Economic Trend in Ion Nitriding/Carburizing, Ion Nitriding and Ion Carburizing. ASM International, ASM Handbook.

Lampman, S. 1991. Introduction to Surface Hardening of Steels. ASM International. ASM Handbook.

Liang He, Yuan Xu. 2010. Carbonitriding Fundamentals, Modeling and Process Optimization. American Society for Metals: Metals Handbook

Purwosari, D. 2013. Pengaruh Variasi Suhu Carburizing Menggunakan Menggunakan Media Arang Tempurung Kelapa Sawit terhadap Presentase Peningkatan Unsur Karbon dan Kekerasan pada Permukaan Baja St 37. Malang: FT - UM.

Riyanto, A. 1995. Pengaruh Suhu Pemanasan Dengan Perlakuan Perambatan Pendingin Air terhadap Baja Assab. Laporan penelitian tidak diterbitkan. Malang: Lembaga Penelitian IKIP Malang.

Smallman, R. E. 1991. Metalurgia Fisik Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Anggota IKAPI.

Smallman, R. E & Bishop, R. J. 1999. Metalurgi Fisik Modern & Rekayasa Material. Jakarta: Erlangga.
Sudjana. 1994. Desain dan Analisis Eksperimen Edisi Ketiga. Bandung: Tarsito.

Sudjana. 1994. Metode Statistik. Bandung: Tarsito.

Suherman, W. 1988. Ilmu Logam I. Surabaya: Institut Teknologi 10 November.

Surdia, T. 1992. Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta. Airlangga.

Tim Revisi UM. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Kelima. Malang: Universitas Negeri Malang.

Van Vlack. 1992. Ilmu dan Teknologi Bahan. Jakarta: Erlangga.

Widodo, Anton. 2006. Analisis Kekerasan dan Ketangguhan Baja pada Variasi Temperatur Tempering untuk Suhu Menengah Baja St 60. Malang: Universitas Negeri Malang.

Zakhrov, B. 1962. Heat Treatment of Metals. Moscow: Peace Publisher.




Tuesday, April 9, 2013

Pengawetan Kayu secara Sistematik dan Objektif


BAGIAN I
PENDAHULUAN
I.       Latar Belakang
Meskipun banyak bermunculan bangunan-bangunan beton, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, tetapi peranan kayu sebagai bahan konstruksi masih dianggap penting. Harganya yang tergolong murah, mudah didapatkan, dan mudah dibentuk menjadikan kayu tetap menjadi pilihan masyarakat yang akan membangun sebuah bangunan. Kegunaan kayu ternyata tidak hanya untuk bangunan saja, tetapi juga dimanfaatkan sebagai bahan alat perabotan rumah tinggal, mainan anak, tiang listrik, bahan baku kertas, dan kegunaan lainnya. Kayu mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan, di antaranya berat jenisnya ringan, kekuatan cukup tinggi, elastis, dan cukup awet. Akan tetapi, kayu juga mempunyai sifat yang kurang menguntungkan, seperti tidak tahan api dan bersifat higroskopis (mudah menyerap dan melepas uap air). Di indonesia, kayu untuk bahan bangunan digolongkan menjadi 4 macam sebagai berikut : a). Kayu berdaun jarum (pinus), b). Kayu berdaun lebar (jati), c). Kayu berdaun palma (kelapa), d). Kayu bambu. Tidak semua jenis kayu mempunyai tingkat keawetan yang sama. Tingkat keawetan kayu sangat beragam menurut jenis kayu dan umurnya. Semakin tua umur kayu semakin awet pemakaiannya. Penyebab kerusakan kayu dapat diakibatkan dari organisme hidup, seperti serangga, jamur, dan bakteri. Selain itu, juga dapat disebabkan dari pengaruh iklim (hujan dan temperatur). Dalam pengawetan kayu, pengeringan merupakan satu tahapan penting dalam proses tersebut. Sebelum diawetkan, biasanya kayu dikeringkan terlebih dahulu sampai pada kadar air tertentu. Proses pengawetan kayu sebenarnya bukan teknologi baru, akan tetapi pengawetan kayu agar lebih kuat sangatlah penting yang tujuannya tidak membuat kayu mudah rapuh. Salah satu sifat yang kurang menguntungkan adalah kepakaiannya terhadap serangan organisme perusak kayu. Kerusakan kayu dapat terjadi pada waktu penyimpanan dan pemakaian. Bahkan, pada kayu yang baru saja ditebang dapat juga terserang organisme perusak kayu.
II.    Faktor Penyebab Kerusakan Kayu
Salah satu sifat kayu yang kurang menguntungkan adalah kepekaannya terhadap serangan organisme perusak kayu. Kerusakan kayu dapat terjadi pada waktu penyimpanan dan pemakaian. Bahkan, pada kayu yang baru ditebang dapat juga terserang organism perusak kayu. Secara garis besar factor yang dapat menyebabkan kerusakan kayu digolongkan menjadi dua, yaitu factor biologis (hidup) dan factor non-biologis (mati).
A.    Faktor Biologis
Cendawan atau jamur merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak berklorofil sehingga tidak dapat membuat makanan sendiri. Dengan demikian, untuk hidupnya cendawan mengambil makanan dari tempat tumbuhnya yaitu kayu. Pengambilan makanan oleh jamur itulah yang menyebabkan kerusakan pada tempat tumbuhannya. Jika dilihat dari tipe kerusakan yang ditimbulkannya cendawan perusak kayu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu cendawan pembusuk kayu dan cendawan pewarna kayu. Cendawan pembusuk kayu merupakan penyebab utama kerusakan pada kayu. Jenis cendawan ini merusak dinding sel sehingga dapat mengubah sifat fisik dan kimia kayu. Akibat serangan cendawan ini kayu dapat mencapai kondisi yang disebut decay (kayu pembusuk). Cendawan pembusuk kayu dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu, pembusuk cokelat dan pembusuk putih. Cendawan pembusuk cokelat secara selektif menyerang selulose hemiselulose sertan meninggalkan residu kecokelat-cokelatan. Akibatnya kayu akan berubah warna menjadi kecokelatan-cokelatan atau kemerah-merahan. Akibat yang lain adalah timbulnya retak-retak tegak lurus terhadap arah serat kayu. Berbeda dengan cendawan pewarna cokelat dan cendawan pewarna putih mempunyai kemampuan untuk merusak lebih dahsyat. Akibat serangan cendawan jenis ini warna kayu menjadi lebih muda (pucat) dibandingkan dengan warna normal. Cendawan pewarna kayu biasanya termasuk ke dalam kelas Ascomycetes. Cendawan ini sebenarnya tidak menurunkan tingkat kekuatan kayu, tetapi menurunkan kualitas kayu terutama pada kayu yang akan digunakan untuk kayu lapis, mebelmbahan baju pulp dan industry korek api. Cendawan pewarna kayu mengambi makanannya dan bahan-bahan yang tersimpan dalam rongga sel. Salah satu contoh cendawan pewarna biru. Jenis cendawan mudah ditemukan pada jenis kayu berdaun jarum, misalnya tusam ( Pinus merkusil ). Beberapa jenis kayu yang disimpan di tempat pengumpulan dan penimbunan mudah diserang cendawan pewarna kayu. Spesies cendawan yang sangat umum dijumpai adalah Ceratocytis pilifera.
Kerusakan kayu oleh serangga terutam disebabkan oleh rayap dan kumbang bubuk. Serangan serangga dapat terjadi pada pohon yang masih hidup, kayu bulat yang sudah ditebang, kayu gergajian, produk kayu lainnya baik dalam penyimpanan dan pemakaian. Derangan ditandai dengan adanya lubang atau pada permukaan kayu. Akibat serangan serangga ini menimbulkan penampilan kayu menjadi jelek dan menurunkan kekuatannya. Rayap berdasarkan tempat hidupnya sebagai perusak kayu dikelompokan menjadi dua,  yaitu rayap kering dan rayap bawah tanah. Rayap kayu kering dapat masuk ke dalam kayu yang terbuka diatas tanah secara langsung dari udara. Jenis rayap ini tidak pernah masuk kadalam tanah. Dalam hidupnya, jenis rayap ini tidak memerlukan tempat yang lembap. Rayap jenis ini dapat hidup dalam kayu dengan kandungan air yang relative rendah. Serangan rayap kayu kering dapat dikenali dari struktur yang menjadi tidak rata dan adanya kotoran terbentuk butiran-butiran kecil yang ditinggalkannya. Rayap bawah tanah masuk ke dalam kayu melalui bawah tanh atau lorong-lorong pelindung yang dibangunnya. Untuk hidupnya, jenis rayap ini memerlukan tempat yang lembap secara tetap. Spesies rayap bawah tanah yang sangat umum dijumpai adalah Heterotermes sp. dan Amitermes sp. Kumbang bubuk kayu membuat lubang-lubang dalam kayu untuk mendapatkan makanan dan tempat berlindung. Dalam penyerangannya kumbang bubuk kayu meninggalkan bagian kayu yang tidak dicerna dalam bentuk halus. Larva kumbang bubuk menggerogoti kayu secar tidak beraturan dan biasanya menyerupai daluran yang besar. Jika serangannya hebat dan biasanya hanya tinggal sedikit kayu yang tertinggal.
B.     Faktor Non-biologis
Permukaan kayu yang berhubungan langsung dengan kondisi lingkungan luar tanpa adanya perlindungan atau pelapisan, misalnya dengan cat atau vernis yang dapat mengakibatkan kerusakan yang disebut pelapukan. Jenis kerusakan karena faktor lingkungan berbeda dengan pelapukan akibat serangan cendawan. Terjadinya pelapukan akibat kombinasi dari beberapa faktor seperti cahaya, terkena hujan dan panas secara bergantian serta cendawan pembusuk lunak. Penggunaan kayu yang tidak berada dibawah naungan atap, misalnya untuk sirap, pagar papan dan lisplang yang tidak dilapisi yang mengakibatkan permukaan kayu rusak. Kerusakan tersebut membuat permukaan kayu menjadi kasar, berkerut, retak-retak kecil yang dapat meluas keseluruh potongan kayu dan akhirnya permukaan kayu menjadi rapuh.
Api merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan kerusakan kayu. Sifat mudah terbakar dari kayu merupakan hambatan utama dalam penggunaannya sebagai bahan bangunan. Kenyataan telah membuktikan bahwa kayu adalah bahan bangunan primer yang akan terbakar dan menyala pada suhu bakarnya. Oleh karena itu, penggunaan kayu secara luas dan tanpa adanya sekat dalam pembuatan kontruksi gedung perlu dihindari. Sebab terbakarnya kayu yang tidak dilindungi pada suhu rendah oleh sumber kebakaran tergantung pada spesies dan lebih ditentukan oleh faktor  seperti derajat kekeringan, suhu dari sumber panas, ukuran kayu, bentuk kayu dan detail dari kontruksi.
III. Pengeringan Kayu
Pohon yang baru ditebang akan memiliki lubang-lubang dan selnya masih banyak mengandung air. Dalam kondisi tersebut kayu yang baru ditebang namanya kayu “hijau”. Untuk mengurangi kadar air dalam batang hingga tahapan yang dihendaki perlu waktu dalam proses pengeringan. Kayu yang akan digunakan sebaiknya memiliki kadar air antara 12-20%. Apabila kadar air melebihi 20%, maka kayu tersebut akan mudah terserang jamur perusak. Pengeringan kayu sangat penting yang bertujuan memperkecil kadar air dalam batang, mencegah kayu terserang jamur dan serangga, meningkatkan kekuatan kayu dan mempermudah pemakaian kayu. Contoh cara menghitung kadar air kayu : a). Diambil sebatang kayu yang masih basah/baru ditebang sepanjang 1 meter dan berat, misalnya beratnya A kg; b). Selanjutnya kayu tersebut dikeringkan slama 5-7hari kemudian dihitung beratnya setelah dikeringkan, misalkan beratnya B kg. Kadar air air dapat dihitung dengan cara : kadar air = (A-B)/B x 100 %. Selama ini dikenal tiga cara pengeringan kayu, yaitu pengeringan secara alami oleh udara luar, pengeringan dalam tungku pengering (buatan) dan kombinasi antara pengeringan alami dengan pengeringan buatan. Masing-masing cara mempunyai keuntungan dan kerugian tersendiri. Keuntungan cara pengeringan udara luar mudah dan kerugiannya memerlukan waktu lama. Pengeringan alami oleh udara luar berlangsung lamban karena tergantung dari udara serta panas oleh matahari dan disirkulasikan oleh angin ke sel-sel kayu. Pada cara pengeringan ini sebaiknya kayu-kayu disusun dengan sesuai yang bertujuan udara dapat bersirkulasi dengan sempurna. Tumpukan kayu minimal tebalnya 2 meter untuk menghindari kelambatan pengeringan dan menghindari noda-noda hitam dipermukaan kayu. Melakukan pengeringan alami, membuat pondasi dengan batu bata. Tinggi pondasi dibuat sekitar 35 cm dan jarak bata 100cm. Balok kayu dipasang melintang antara pondasi yang disusun secara berurutan. Diantara masing-masing tumpukan kayu dibatasi dengan kayu penganjal yang disebut (lat) berukuran tebal 2 cm dan lebar 3 cm. Bertujuan untuk mencegah noda-noda pada permukaan kayu. Pada kayu yang keras atau kayu yang tidak lentur jarak dengan (lat) penganjal dibuat 1 meter. Sebaliknya, untuk kayu yang lentur dan tebal jarak dengan (lat) berkurang menjadi 0,5 meter. Tumpukan kayu tersebut harus dilindungi dari sinar matahari dan hujan. Lama pengeringan kayu sangat bervariasi, tergantung jenis dan ketebalan kayu.

Tabel 1. Waktu pengeringan secara alami pada beberapa jenis kayu
JENIS KAYU
LAMA PENGERINGAN /BULAN
Merantai ringan
4-5
Merantai berat
5-6
Keruing
4-6
Merbau
5
Kempas
5
Kapur
5
Balau
8-10
Mengurangi kadar air 18-20 %, apabila dibawah menggunakan pengeringan buatan.
images (1).jpg
Gambar 1.1 pengering alami

Pengeringan tungku adalah pengeringan buatan dan proses pengeringannya lebih cepat. Hal inin disebabkan proses pengeringan sirkulasi udara dan temperatur dapat diatur sesuai dengan kayu tersebut. Bahan tungku pengering dibuat dari batu bata dan pemanasnya menggunakan pipa yang berisi air panas dapat menyebar naik melalui celah-celah tumpukan kayu. Kelembapan didalam ruang dapat dikontrol dengan melepaskan uap air kedalam ruang pengering. Untuk membuat sirkulasi udara ruangan baik dan sempurna dapat ditambahkan kipas angin yang ditempelkan dibagian atas ruangan.
images.jpg
Gambar 1.2 pengering tengku (buatan)
Pengering kombinasi secara alami dan buatan yang merupakan perpaduan pengeringan secara alami dan buatan dapat ditetapkan pada kayu yang tebal. Sebagai contoh papan kayu dengan ketebalan 5cm dan berkadar air 20% hasil pengeringan alami dapat dikeringkan lebih lanjut dalam tungku pengering hingga berkadar 11% dalam jangka waktu 3-12 minggu. Kesalahan dalam penumpukan kayu akan mengakibatkan penurunan kualitas dari kayu yang benar juga harus diperhatikan. Kayu yang akan ditumpuk dibedakan menjadi dua, yaitu kayu yang digergaji bentuk persegi dan bukan bentuk persegi. Kayu bentuk persegi kondisinya memungkinkan kayu yang berukuran panjang lebih baik ditumpuk memanjang dengan jarak palin sedikit 2x5-3cm antar bagian dalam lapisan. Tumpukan pada akhirnya menyerupai bentuk paket dengan lebar 100-120cm dan tinggi 100cm. pada kayu gergajian bentuk persegi dan model penumpukannya dibedakan atas tiga. Masing-masing model tersebut adalah penumpukan sejajar, penumpukan bentuk Z dan penumpukan bentuk gunting atau menyilang. Penumpukan model gunting dilakukan pada kayu yang kurang tahan lama dan mudah terserang jamur biru. Kayu bukan bentuk persegi merupakan hasil gergaji yang berupa lembaran dari sebatang pohon. Lembaran kayu tersebut biasanya belum langsung digunakan dan disusun kembali sesuai bentuk asal serta ditumpuk blok.
Sifat beberapa jenis kayu pada pengeringan alami adalah proses pengeringan secara alami dengan udara dan masing-masing jenis kayu memiki ciri khas, misalnya kayu keruing, kayu kempas dan kayu meranti. Kayu keruing proses pengeringannya secara alami dan banyak mengalami kerusakan disebabkan karena cepat mengeluarkan air. Kerusakan terjadi pada bagian ujung kayu yang menjadi retak-retak serta banyak noda-noda jamur. Pada pengeringan kayu keruing dengan ketebalan 2,5cm, tidak memerlukan bantuan kayu kecil lebih dari 1cm. kayu penganjal dibiarkan menjorok 0,5cm keluar dan memerlukan perawatan yang khusus pada waktu pengeringan, misalnya dalam proses pengeringan selalu diamati setiap harinya. Kayu kempas tergolong jenis kayu yang sulit untuk dikeringkan dan dapat digunakan setelah dikeringkan secara alami selama 5 bulan. Kayu meranti umumnya dapat dikeringkan secara alami dengan mudah dan tidak mudah rusak. Ketebalan kayu penganjalnya 4 cm dan cara penumpukan yang kurang rapat tidak mempengaruhi proses pengeringannya.
Kerugian dan kualitas kayu pada pengeringan secara alami, misalnya retaknya kayu, jamur, noda bekas ganjal dan perubahan warna kayu. Retak yang terjadi pada permukaan kayu akibat perubahan temperatur dari panas ke hujan (mengembang dan berkerut). Jamur mudah berkembang pada tingginya kelembapan dan kondisi temperatur. Menambahkan tumpukan kayu kecil agar udara dapat masuk dan mencegah adanya jamur. Noda bekas ganjal (kayu kecil) disebabkan tingkat ganjalannya terlalu lama. Oleh karena itu, sebaiknya ukuran kayu penganjal disesuaikan dengan kebutuhan kayu dan kerusakannya berubah warna menjadi pucat. Perubahan warna kayu akibat sinar matahari dan berubah warna menjadi kelabu akibat terlalu lama dalam proses pengeringan. Sebenarnya dalam mengatisipasi kerusakan diperlukan ketelitian dalam proses pengeringan dan penempatan kayu serta melakukan pengulangan proses pengeringan.
A.    Keawetan Alami Kayu
Keawetan kayu alami adalah suatu ketahanan kayu terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang sesuai bagi organisme yang bersangkutan. Keawetan alami kayu diperoleh melalui ujicoba sehingga diperoleh pembagian kelas awet kayu. Dalam dunia perkayuan dikenal ada 5 (lima) pembagian kelas awet kayu. Kelas awet kayu I memiliki jenis seperti kayu jati, ulin, sawo kecik, merbau, tanjung, sonokeling, johar, bangkirai, behan, resak, dan ipil serta mencapai 25 tahun. Kelas awet kayu II memiliki jenis seperti kayu weru, kapur, bungur, cemara gunung, rengas, rasamala, merawan, lesi, walikukun, dan sonokembang serta umur pemakaiannya mencapai 15-25 tahun. Kelas awet kayu III memiliki jenis kayu ampupu, bakau, kempas, keruing, mahoni, matoa, merbatu, meranti merah, meranti putih, pinang, dan pulai serta mencapai umur 10-25 tahun. Kelas awet kayu IV meliki jenis kayu yan kurang awet seperti agatis, baayur, durian, sengon, kemenyan, kenari, ketapang, perupuk, ramin, surian, dan benuang laki serta memiliki ketahanan 5-10 tahun. Kelas awet kayu V tergolong kayu yang kurang kuat seperti jabon, jelutung, kapuk hutan, kemiri, kenanga, mangga hutan, dan marabung serta memiliki ketahanan 5 tahun.
B.     Pengawetan Kayu
Secara garis besar, proses pengawetan kayu dibedakan menjadi dua golongan, yaitu proses pengawetan kayu tanpa tekanan (non pressure process) dan proses pengawetan kayu dengan tekanan (pressere process). Proses pengawetan kayu tanpa tekanan merupakan metode yang mudah dilakukan dan hasilnya afektif. Ada 5 (lima) cara yang dikenal dalam metode pengawetan kayu tanpa tekanan, yaitu pelaburan dan penyemprotan, pencelupan, perendaman dingin, perendaman panas, dan perendaman panas dingin.
Peleburan/penyerempotan proses bahan pengawet kayu dilaburkan atau disemprotkan pada permukaan kayu. Sebagian cairan pengawet termasuk kayu dengan daya kapiler dan komponen pemakaiannya tergantung beberapa keuntungan sebgai berikut : a). retensi dan penetrasi bahan pengawet, b). tanpa peralatan banyak dan efisien dalam penggunaan volume bahan pengawet, c). organik dan mudah menguap. Secara teknis pengawetan dengan cara pelaburan dan penyemprotan tergolong sederhana dan mudah dilakukan. Memiliki syarat sebagai berikut : a). pelaburan secara merata dan volume bahan pengawet membutuhkan + 110 cc/m2 yang diencerkan, b). penetrasi yang mudah terfiksasi dan daya fiksasinya tinnga agar tahan pelunturan, c). pemilihan bahan pengawet memiliki nilai efikasi (kemajuran) yang tinggi terhadap organisme tertentu. Pengawetan dengan pelaburan relatif sedikit membutuhkan bahan pengawet. Pada pengawetan memiliki titik pokok keberhasilan merupakan daya efikasi bahan pengawet terhadap serangan organisme perusak dan benar-benar teruji.
Pencelupan (dipping) merupakan proses pengawetan dengan memasukkan kayu kedalam larutan selama beberapa detik. Cara pencelupan lebih mahal dibandingkan dengan pelaburan dan penyemprotan memerlukan bahan pengawet lebih banyak. Memberikan penetrasi yang efektif sampai kedalam retakan yang berlubang dan sentuhan bahan pengawet dengan kayu lebih lama. Proses tersebut tidak beda jauh dengan penyemprotan  dan tidak cocok untuk mengawetkan kayu yang jumlahnya sedikit. Metode ini cocok untuk mengawetkan kusen jendela, pintu, dan produksi kayu sejenisnya. Dengan bahan pengawet yang bersih, proses pengawetan tidak menyebabkan perubahan dimensi kayu yang mencolok dan tetap dapat dicat dengan baik serta waktu yang diperlukan untuk prncelupan + 3 menit.
Perendaman dingin dilakukan dengan cara merendam kayu ke dalam bahan pegawet selama 1-5 minggu dan dalam suhu kamar. Larutan bahan pengawet yang digunakan berupa bahan pengawet yang larut dalam air atau larut dalam minyak serta larutan yang digunakan bercair. Dalam prosesnya air dan bahan pengawet masuk ke dalam air serta tidak mengurangi kadar cairan. Sebagian absorbsisnya berlangsung secara difusi garam dari larutan pengawet ke dalam air yang sudah ada dalam kayu. Pada metode perendaman dingin absorbsi paling cepat terjadi pada 2-3 hari pertama dan semakin lama perendamannya semakin baik hasil yang dicapai. Proses pengawetannya bertekan pada absorbsi dan peresapannya sama. Absorbsi yang diperoleh selama perendaman pada kayu kering yang sehat hanya sedikit dan peresapannya tidak lebih dari 0,3-0,6 cm. Untuk memproleh absorbsi yang lebih besar, konsentrasi larutan bahan pengawet harus lebih pekat dibandingkan pada proses bertekanan. Pada kayu yang basah, sedikit sekali kayu dari larutan akan menurun bila zat kimianya diabsorbsi. Dengan demikian, untuk mencapai proses difusi diperlukan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu yang kering. Pada kayu segar peresapannya akan lebih baik dibandingkan kayu kering. Dalam pelaksanaan metode perendaman dingin, kayu ditumpuk sehingga seluruh larutan bahan pengawet mengenai permukaan kayu. Untuk kayu gergajian, diantara lapisan-lapisannya perlu diganjal setebal 1,5 cm. Diantara 2 potong kayu yang berdampingan untuk memungkinkan sirkulasi bahan pengawet dan keluarnya udara yang mungkin terjadi dari dalam kayu. Perendaman panas adalah metode pengawetan kayu yang direndam dalam larutan bahan pengawet panas selama beberapa jam. Suhu yang digunakan dalam perendaman panas tergantung pada jenis bahan pengawet yang digunakan. Sebagai contoh menggunakan kresol, suhu bahan pengawet sampai 99oC dan pengawet yang larut dalam air serta suhu yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi.
Proses pengawetan dengan tekanan biasanya dilakukan pada suatu silinder yang tertutup rapat dalam proses sel penuh dan proses sel kosong. Tujuan penggunaan proses sel penuh adalah untuk mempertahankan sebanyak larutan pengawet yang dimasukan kedalam kayu selama periode penekanan. Berdasarkan jenis bahan pengawet, proses bethell dan burnett. Proses sel kosong merupakan proses yang sangat cocok untuk mendapatkan penetrasi yang sedalam-dalamnya dengan retensi yang terbatas. Pengawet yang dimasukan dengan tekanan ke dalam kayu dikeluaran kembali dalam sel-selnya cenderung dilapisi bahan pengawet dari pada diisi, proses reuping dan proses lowry.
   C.  Bahan Pengawet
Bahan pengawet kayu (BPK) adalah senyawa kimia yang diberikan pada kayu agar menjadi tahan terhadap serangan organisme perusak. Syarat-syarat bahan pengawet kayu secara komersial, misalnya mudah diresapkan ke dalam kayu, daya penetrasi yang tinggi, bersifat permanen, tidak menguap, senyawa, dan korosif terhadap logam. Efektifitas bahan pengawet kayu tergantung pada daya racun dan sifat permanen telah teruji pada kayu.
PENUTUP
KLASIFIKASI BAHAN PENGAWET KAYU

Bahan pengawet yang berupa minyak merupakan hasil sampingan dari industri petroleum dan kreosol batu bara serta karbolineum. Kreosol batu bara merupakan bahan hasil destilasi yang diperoleh karbonisasi arang bitumen pada suhu tinggi dan zat terdiri dari hidrokarboni aromatik cairan padat. Kelebihan kreosol batu bara mempunyai kelebihan daya racun yang ampuh terhadap cendawan perusak, relatif tidak larut dalam air, dan kurang menguap. Kreosol batu bara mempunyai sifat yang kurang sesuai dengan persyaratan, misalnya kayu yang baru diawetkan dengan kreosol mudah terbakar, berbau, berwarna, dan kayu tidak dapat dicat dengan baik. Kekurangan kreosol hanya digunakan untuk mengawetkan kayu eksterior (luar), misalnya untuk tiang-tiang transmisi, jembatan, pagar, dan bantalan rel kereta api. Bahan pengawet yang terlarut dalam minyak mempunyai daya racun yang tinggi terhadap organisme perusak kayu termasuk jenis pentaklor fenol dan kuprinaftenat. Pentaklor fenol (C6Cl5OH) merupakan hablur senyawa kimia yang terbentuk dari reaksi klor dan fenol. Dilarutkan dalam petroleum tidak efektif untuk mencegah cacing laut, tetapi sangat efektif melindungi kayu dari serangan cndawan dan serangga. Kuprinaftenat merupakan campuran asam neftenat yang diperoleh dari hasil pemurnian petroleum dengan garam dari logam. Konsentrat dalam kadar logam tembaga permukaan lainnya dibutuhkan kadar tembaga sampai 3% (10-30% naftenat). Jenis bahan pengawet pentaklor fenol dan kuprinaftenat mengandung garam dari unsur-unsur, seng (Zn), krom (Cr), tembaga (Cu), boron (Br), dan arsen (Ar). Berdasarkan garam penyusunnya, bahan pengawet yang larut dalam air dibedakan menjadi beberapa golongan : a). Golongan tembaga-chrom-arsen (TCA), misalnya: tanalith, kemira, celcure, dan osmose; b). Golongan tembaga-chrom-boron (TCB), misalnya: wolmanit; c). Golongan tembaga-chrom-fluor, misalnya: basitit; d). Golongan boron-flour-chrom-arsen (BFCA), misalnya: koppers. Mekanisme masuknya bahan pengawet ke dalam kayu melalui noktah-noktah berpasangan dari dinding sel yang bersifat parmeabel mudah ditembus partikel. Masuknya cairan kayu ke dalam kayu adanya tekanan dari luar sel dengan konsentrasi larutan kedalam rongga sel. Difusi bergerak dari larutan yang berkonsentrasi tinggi kedalam larutan yan berkonsentrasi rendah, karena bahan pengawet lebih tinggi dari cairan di dalam sel. Bahan pengawet bergerak ke dalam sel dan menembus dinding sel mencapai keadaan keseimbangan. Peresapan bahan pengawet kayu dipengaruhi oleh sifat atomi kayu dan proses pengawetan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim, S. dan Djarwanto. 2000. Pengawetan Kayu Rendaman. Jakarta: Rineka
            Cipta.
Singarimbun (Eds.) 1999. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Arikunto, S. 1999. Prosedur Penelitian: Sesuatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
            Cipta.
Tim Penyusun Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang. 2007.
            Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Artikel dan Makalah. Malang:
            UM.