Tuesday, April 9, 2013

Peristiwa Pagi Hari Cerpen: A.S. Laksana



Sepuluh tahun lalu, di sebuah ruang tamu, mereka bercakap dalam nada rendah. Tak ada orang lain di rumah itu kecuali mereka berdua. Tak ada orang tua sehingga sesungguhnya tak perlu mereka merendahkan nada bicara, namun malam itu mereka tetap bicara dalam nada rendah, sebab memang ada tema-tema percakapan tertentu yang selalu harus disampaikan dengan nada rendah kendati tidak ada orang lain.

Mereka sedang bercakap tentang persenggamaan ketika hujan tiba-tiba deras malam itu dan angin yang bertiup kencang mencampakkan ke atap rumah beberapa butir mangga yang tangkainya membusuk. Si tuan rumah memaki ketika didengarnya suara hempasan keras di genteng. “Berkali-kali kuminta mangga itu ditebang saja, tapi ayahku tidak setuju. Ia selalu tidak setuju pada apa yang kukatakan. Ia tidak pernah setuju kata-kata siapa pun, termasuk kata-kata ibuku.”

“Kebetulan saja hujannya deras,” kata tamunya. “Dan hujan deras toh tidak turun setiap hari.”

“Itulah soalnya. Mangga itu jatuh ketika hujan. Lalu menimpa genteng. Lalu genteng itu pecah dan ia jarang di rumah. Selalu aku yang repot dengan urusan genteng bocor. Untung kau bukan anaknya.”

Lalu ia tengadahkan kepalanya ke langit-langit ruangan dan pembicaraan mereka terhenti beberapa saat karena air hujan menyelinap dari celah genteng yang pecah dan air mengalir cukup deras membasahi dinding dan lantai ruang tengah. Si tuan rumah segera melesat ke dapur, mengambil ember, melesat lagi ke ruang tengah, dan menampung air di ruang tengah itu dengan ember yang dibawanya dari dapur. Setelah itu ia kembali lagi ke ruang tamu dan meneruskan pembicaraan tentang senggama yang terpotong beberapa saat.

Kepada tamunya ia bercerita bahwa ia selalu membayangkan sedang bermain sepakbola ketika bersenggama: meliuk di antara lawan-lawannya, mengumpankan bola ke kawannya yang berdiri bebas, dan mencetak gol ketika kesempatan untuk itu tiba. Alit belum pernah mendengar cerita macam itu. Tapi ia diam saja. Hanya sorot matanya yang memohon agar kawannya, si tuan rumah, bercerita lebih rinci.

“Dengan cara itu aku menjadi lebih tahan lama,” kata si tuan rumah.

“Bisa dua kali empat puluh lima menit?” tanya Alit.

Kawannya hanya tersenyum. Ia empat tahun lebih tua dari Alit dan tulang-tulangnya kelihatan jauh lebih keras dan variasi pada tema-tema pembicaraannya menunjukkan bahwa ia memiliki jauh lebih banyak pengalaman dan mengenal lebih banyak nama perempuan di tempat remang. Tapi ia adalah kawan sekelas Alit di sebuah SMA di Semarang. Ia memerlukan waktu sembilan tahun untuk menyelesaikan sekolah dasar, tiga tahun lebih lama dari anak-anak lain yang tidak pernah tinggal kelas, dan empat tahun untuk menyelesaikan SMP yang seharusnya bisa ditempuh tiga tahun. Karena itu di kelas satu SMA, sampai hari terakhir sebelum kenaikan kelas, ia lebih tua empat tahun dan memiliki lebih banyak pengalaman dibanding rata-rata teman sekelasnya.

Alit mengulang lagi pertanyaannya, “Bisa dua kali empat puluh lima menit?”

Kawannya tetap hanya tersenyum seolah-olah ingin agar senyumnya ditafsirkan sebagai kalimat, “Tentu saja lebih dari itu.”

“Ditambah perpanjangan waktu dua kali lima belas menit?”

Senyum itu makin lebar.

“Apakah kau mencetak gol dalam permainan yang kaubayangkan itu?”

“Sebanyak yang aku mau.”

“Kau selalu mengalahkan lawan-lawanmu?”

“Tak ada yang pernah mengalahkanku.”

“Tidak pernah seri?”

Kawannya menggeleng.

“Tidak takut kena sipilis?”


***


Alit membayangkan sesuatu yang lain ketika bersenggama dengan tangannya. Ia membayangkan sedang melihat datangnya kematian. Ia melihat seseorang mengerang, menjerit, dan merengek di hadapan malaikat: makhluk putih bersayap, seperti hasil persilangan antara sosok lelaki tua dan seekor unggas. Orang yang didatangi malaikat itu terus mengiba-iba dengan paras muka yang sudah biru, namun makhluk bersayap tak bisa dibengkokkan oleh rengek dan warna biru di paras muka orang itu. Pelan sekali makhluk serupa unggas itu beringsut, membuat kehadirannya makin mengiris, makin dekat, makin dekat, dan muka orang itu makin biru.

Mungkin dengan gambaran seperti itu di tempurung kepalanya, onani yang ia lakukan bisa tahan lebih lama. Tiga kali ia membayangkan kejadian yang sama, dan pada onani selanjutnya ia membuat sedikit revisi pada tampilan makhluk bersayap yang mendatangi si muka biru. Makhluk seperti unggas itu kini ia bayangkan berjubah loreng dan mukanya berlumur warna peperangan. Alit berharap, dengan gambaran itu, si unggas akan tampak lebih menyeramkan. Ia tidak lagi beringsut pelan-pelan, namun melangkah menghentak-hentakkan larsa pada lantai.

Orang yang ia bayangkan merengek-rengek di depan makhluk bersayap itu tidak lain adalah ayahnya. Jadi ketika tangannya bekerja, otaknya pun bekerja membayangkan kematian menyongsong ayahnya. Sebab ia berpikir bahwa ayahnya memang pantas didatangi oleh makhluk seperti itu. Dalam tujuh onani ia membayangkan ayahnya mengerang menghadapi malaikat warna loreng. Dan pada onani selanjutnya ia sempat ragu-ragu apakah ayahnya pantas digambarkan seperti itu atau tidak.

Mungkin tidak pantas.

Mungkin lebih pantas jika orang tua itu ia bayangkan mati sendiri, seperti daun-daun yang rontok setelah dirambati warna kuning, lalu disapu oleh pemilik pekarangan, dibuang ke tempat sampah, dan oleh tukang sampah diangkut dan dibuang lagi entah ke mana. Atau kalau tukang sampah tidak datang beberapa hari, daun itu akan tercampak di antara sampah-sampah lain yang membusuk. Mungkin lebih pantas ia bayangkan ayahnya mati sendiri tanpa ada yang menjemput sehingga nyawanya tersesat jauh sekali dan tidak pernah sampai ke tempat yang seharusnya dituju oleh orang-orang mati.


***


Aku hanya mendengar tentang Alit dari orang-orang. Konon ia pernah mengatakan bahwa orang tua memang sering tidak berguna, dan harus digambarkan seperti itu, terutama bagi seseorang seperti dirinya, anak lelaki yang tengah digempur gejolak. Ketika hasrat mengeras di pagi hari, ketika ada perangkat tubuh yang tak selalu dapat dikontrol tindak-tanduknya, dan ketika mata gampang terpesona dan selalu ingin menembus bagian-bagian rahasia tubuh perempuan, orang tua seolah-olah tidak menganggap itu sebuah persoalan dan tidak membagi sedikit saja perhatian terhadap kesengsaraan anaknya. Alit ingin agar orang tuanya tahu bahwa di dalam dirinya ada persoalan berat yang tak mudah ditanggung sendirian. Tapi bagaimana menyampaikannya?

Ia ingin orang tuanya, terutama ayahnya sebagai sesama lelaki, datang kepadanya setiap pagi dan bertanya, “Apa yang kaurasakan pagi ini? Kulihat ada bagian tubuhmu yang mengembang dan menegang dan membuat celanamu menjadi sedikit lebih sesak.” Dengan pertanyaan seperti itu ia tentu akan menjelaskan dengan enak dan lengkap sekali segala yang ia rasakan. Mungkin ia akan sangat malu pada mulanya dan mengalami sedikit kesulitan untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Ia malu karena apa yang ingin disembunyikannya ternyata bisa dilihat oleh ayahnya. Ia malu karena tak ingin ketahuan bahwa ada sesuatu yang menegang dan mengembang dalam dirinya dan ia ingin kelihatan biasa-biasa saja, namun toh ayahnya tahu hal-hal yang tertutup dan ingin ia sembunyikan.

“Hanya ada kita berdua, Alit,” kata ayahnya, “jadi tak usah malu menceritakannya padaku.”

“Aku baik-baik saja, kok,” katanya.

“Tapi kulihat ada yang menegang.”

“Tapi aku baik-baik saja, mungkin memang kelihatan sedikit tegang karena nanti siang guru agama akan memberikan ulangan pada jam pertama.”

“Aku pernah seusiamu, dan pernah merasakan apa yang kaurasakan, dan itu bukan sesuatu yang ‘baik-baik saja’ menurutku.”

“Betul, kok, ini soal ulangan agama, dan aku selalu gugup menghadapi pelajaran agama sehingga mungkin kau melihat aku sedikit tegang. Agama adalah sesuatu yang tak bisa dibuat main-main dan pelajaran agama jadi sering membuatku tegang.”

“Bukan itu jawabannya, Alit.”

“Jadi aku harus menjawab apa?”

“Kau boleh menjawab apa saja atau tidak menjawab sama sekali.”

“Tapi kau bertanya, bolehkah aku tidak menjawab ketika ada orang bertanya kepadaku?”

“Baiklah, aku akan berangkat kerja. Kuharap kau baik-baik saja hari ini.”

Setelah ayahnya pergi ia tenggelam lama sekali di ruang tamu. Sampai segala yang menegang kembali mengendur, sampai segala perangkat yang mengeras dan hasrat yang mendesak-desak kembali melunak.

Ia tidak menipu ayahnya bahwa siang nanti, begitu kelas dimulai, guru agama, yang masuk pada jam pertama, akan memberikan ulangan. Namun tentu saja bukan ulangan itu yang membuat perangkatnya menegang. Dan ia masih malu berterus terang kepada ayahnya.

Ia baru akan bangkit dari kursi ruang tamu, akan mengambil buku catatan pelajaran agama dan membaca lagi sedikit-sedikit semua yang sudah diajarkan, ketika seorang perempuan melintas di depan rumah. Ia duduk lagi di kursi ruang tamu dan melayangkan matanya ke arah perempuan yang melintas itu. Perempuan itu berhenti di depan pintu pagar rumahnya karena berpapasan dengan seorang perempuan lain. Usia keduanya sebaya. Dari ruang tamu rumahnya, Alit terus saja melekatkan matanya, menembus kaca jendela, melucuti perempuan yang pertama kali dilihatnya. Ia melihat perempuan itu tiba-tiba meliuk-liukkan tubuhnya seperti lidah api, dan suhu tubuhnya meningkat seketika oleh lidah api itu.

Kedua perempuan itu bercakap-cakap beberapa saat di depan pintu pagar rumahnya. Ia tak bisa mendengar apa yang mereka percakapkan, namun, ketika lidah api itu tertawa, ia bisa mendengar suara tertawa kecil yang membelai daun telinganya dan membuat jantungnya tiba-tiba meliar. Arus darahnya kacau. Tawa kecil perempuan yang berhenti di depan rumahnya itu juga membuat pikirannya sedikit kacau, dan menyebabkan tegak kembali sesuatu di dalam celananya.

Ini sebuah undangan.

“Aku ingin tidur denganmu,” katanya pada lidah api yang siang tadi tertawa kecil di depan pagar rumahnya.

“Kau bukan adikku, tentu tak bisa tidur dengan aku,” sahut perempuan itu.

Tak ada sesiapa di rumah si lidah api. Ayah perempuan itu, ia tahu, beberapa hari lalu berangkat ke luar kota dan baru akan pulang beberapa hari lagi, dan ibunya, ia tak tahu sedang pergi ke mana, juga tak ada di rumah malam itu. Ada bulan terperangkap di bingkai jendela, cahayanya makin meliarkan debur di dada.

“Aku ingin tidur denganmu sekalipun aku bukan adikmu.”

“Kau juga bukan saudaraku.”

“Sekalipun bukan saudaramu.”

“Kau bukan apa-apaku.”

“Sekali saja. Tak bisakah tidur denganmu sekali saja?”

“Kenapa kau ingin tidur denganku?”

“Sebab kau berhenti di depan rumahku, lalu bercakap-cakap dengan seseorang di depan pagar rumahku; aku melihat kau seperti lidah api yang menari dan mendengarkan suara ketawa paling mempesona ketika kau ketawa. Saat itu aku ada di ruang tamu.”

“Aku tidak menari dan hanya tertawa karena kawanku menceritakan sesuatu yang lucu.”

“Gerakanmu seperti penari, aku tidak bohong. Mungkin kau tertawa karena sesuatu yang lucu, tapi setelah itu aku terus-menerus mendengar suara ketawamu. Ke mana pun aku pergi seharian tadi, suara ketawamu terus mengikutiku. Sungguh lembut dan memanggil-manggilku sehingga malam ini aku datang kepadamu memenuhi panggilan ketawamu itu.”

“Aku hanya tertawa dan tidak memanggilmu. Aku bahkan tidak tahu kau ada di ruang tamu atau di mana waktu itu.”

“Kau memang tidak memanggilku. Tapi, tolong kaupahami, suara ketawamulah yang memintaku datang.”

Perempuan itu memelototkan mata. Ada lipatan di antara alis matanya. Alit tidak pernah berpikir hal lain kecuali bahwa ia ingin tidur dengan perempuan yang telah mengirimkan tarian ke matanya dan suara ketawa ke gendang telinganya. Ia melekatkan matanya pada lengkung garis leher perempuan itu; garis yang bertemu di tengah-tengah dada dan membentuk sebuah palung yang indah. Gaun yang dikenakan perempuan itu tipis, leher gaun itu membentuk huruf “V” di tengah-tengah palung. Ia ingin sekali menjulurkan tangannya, membuka dengan kasar leher gaun itu seperti yang dilakukan para jagoan, atau mengecilkan tubuh dan menyusup masuk melalui celah huruf “V” itu, atau setidaknya ingin agar celah “V” itu diperbesar sedikit lagi.

Alit masih menatap palung di dada dan huruf “V” yang menggantung di leher ketika perempuan itu mengangkat mukanya dan bertanya, “Apa yang kaulihat?”

Palung itu membenamkannya, Alit mengangkat tangan kanannya pelan-pelan, membuat isyarat “V” dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, seperti tanda yang biasa diacungkan oleh para atlet yang meraih kemenangan.

“Kau merasa menang?” perempuan itu ketus.

“Aku merasa suhu tubuhku meningkat dan ingin sekali tidur denganmu,” gumamnya.

“Untuk merayakan kemenanganmu?”

“Aku hanya memenuhi panggilan suara ketawamu.”

“Tanganmu merayakan kemenangan. Jadi pulanglah dan rayakan kemenanganmu di rumahmu sendiri.”

“Kenapa kau tidak mau tidur denganku?”

“Aku tidak mengantuk.”

Esok paginya, sebelum berangkat kerja, ayahnya datang kepadanya seperti pagi-pagi sebelumnya, mengusap kepalanya, dan menanyakan apakah ada yang ia rasakan membesar dan menegang dan membuat otaknya menggeliat-geliat tidak tertahankan.

“Aku baik-baik saja, kok,” katanya.

“Aku pernah seusia kau.”

“Tentu saja.”

“Dan aku seorang lelaki.”

“Karena itulah aku memanggilmu ayah.”

“Karena itu aku tahu apa yang dirasakan oleh anak lelaki seusiamu.”

Ayah yang baik tentu memang harus seperti itu, harus datang kepada anaknya setiap pagi sebelum pergi bekerja, dan harus terus memberi perhatian kepada anaknya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu kendati anaknya selalu menjawab bahwa dia baik-baik saja dan sama sekali tak ada persoalan. “Semuanya biasa-biasa saja kok, Yah. Tidak ubahnya matahari yang terbit pagi hari dan terbenam sorenya.”

Ayah yang baik harus menghadapi jawaban itu dengan sabar, karena pada pagi hari yang keseratus atau keseratus tiga mungkin si anak baru bisa menyingkirkan rasa malunya, baru berani menceritakan apa yang dirasakannya, dan menumpahkan apa saja termasuk perihal gairah yang datang setiap pagi dan rasa ingin tidur dengan perempuan mana pun yang lewat di depan rumah. Pada pagi hari yang keseratus lima atau keseratus tujuh mungkin ia akan lebih berani lagi untuk berterus terang tentang tawa perempuan yang terdengar olehnya sebagai sebuah panggilan untuk tidur. Setelah bercerita seperti itu, ia akan bertanya kepada ayahnya, “Apa pendapatmu tentang semua itu, Yah?”

Tapi ayahnya bukan orang tua yang suka menunjukkan perhatian kepada anaknya, karena itu Alit melakukan onani sembari membayangkan kematian mendekati ayahnya, semula dalam wujud makhluk bersayap warna putih, lalu ia ubah makhluk itu menjadi loreng dan mukanya dilumuri warna peperangan. Ia juga kemudian sering membayangkan, ketika melakukan onani, orang tua itu sekarat tanpa menghadapi malaikat berbentuk apa pun sehingga nyawanya lepas dengan sendirinya dan tak tahu mana tempat yang harus dikunjungi oleh orang-orang yang sudah mati.

Aku hanya mendengar tentang Alit dari tuturan orang-orang. Dan kurasa orang-orang agak berlebihan ketika mengembangkan cerita bahwa pada suatu hari, di saat sedang menghadapi ulangan agama di kelasnya, Alit merasakan perangkatnya mengeras dan menegang. Dalam keadaan seperti itu, ia lalu menggambar perangkat yang suka menegang itu di kertas ulangannya. Lalu guru mengeluarkannya dari kelas, dan di luar ia menggambar perangkat itu di tembok-tembok jalanan. Aku pernah juga menyaksikan gambar-gambar seperti itu dengan coretan arang, jumlahnya banyak sekali, di tembok pagar gubernuran, namun aku tidak menuduh Alit yang telah melakukannya.***
Posted by Bidadari yang Mengembara at 4:01 PM

No comments:

Post a Comment